Batubara dangkal memiliki peringkat rendah dan mungkin belum menghasilkan metana dalam jumlah besar. Lebih dalam bara ini terkubur, maka akan mengalami tingkat pematangan yang lebih besar. Sehingga pembatubaraan tinggi akan menghasilkan kuantitas lebih banyak metan daripada batubara dangkal.
Beberapa metana dalam batubara mungkin telah dihasilkan oleh aktifitas bakteri metanogen. Gas biogenik dapat diproduksi di setiap saat sepanjang proses pembatubaraan dengan pendekatan jika hadir kondisi yang tepat.
Mengeluarkan gas metan pada batubara.
Gas metan tersimpan dalam batubara sebagai komponen gas yang teradsorpsi pada atau di dalam matriks batubara dan gas bebas dalam struktur micropore atau cleat lapisanbatubara. Gas ini berada di tempat tempat yg menjebaknya terutama karena adanya tekanan reservoir. Apabila kita dapat mengurangi tekanan reservoir ini, maka memungkinkan gas yang terperangkap akan dapat keluar dari micropore pada batubara ini.
Untuk mengeluarkan gas metan ini tentusaja harus mengurangi tekanan dengan mengalirkan seluruh fluida yang ada terutama air. Ya, air akan sangat banyak terdapat dalam sela-sela lapisan (cleat) juga micropore (porositas mikro) pada batubara ini.
Pada proses penambangan batubara, sering juga dijumapi air ini. Seringkali air membanjiri pada lubang-lubang pertambangan batubara. Dan tentusaja diikuti oleh keluarnya gas-gas metan. Itulah sebabnya seringkali terdengar adanya ledakan tambang yang merupakan akibat terbakarnya gas metan yang terakumulasi dilubang tambang.
Untuk mengurangi resiko ledakan terowongan tambang serta memanfaatkan gas metan yang keluar inilah maka ide CBM muncul sebagai solusi untuk dua hal yang saling berhubungan.
Dalam proses pengeluaran air inilah gas akan secara bersama-sama ikut terproduksi. Jumlah air yang terproduksi semakin lama semakin berkurang sedangkan jumlah gas yang ikut terproduksi bertambah. Proses ini disebut “dewatering“. Proses dewatering ini memakan waktu yang cukup lama bahkan hingga 3 tahun. Ya selama 3 tahun inilah masa-masa menunggu yang sangat melelahkan sekaligus masa deg-degan karena menunggu sebesarapabesar kapasitas produksi sumur ini.
Berbeda dengan proses produksi minyak dan gas konvensional dimana tekanan gas cukup besar sehingga gas akan keluar dahulu yang kemudian akan diikuti oleh air.
Dibawah ini perbandingan komposisi air dan gas pada proses pengurasan air hingga proses memproduksi gas.
Gambar Tahap produksi CBM
Tentusaja pada saat awal sumur ini dipompa hanya air yang diproduksi. Setelah tekanan pori-porinya berkurang maka akan keluarlah gasnya. Proses awal inilah yang memerlukan kesabaran, karena dapat memakan waktu hingga 3 tahun, bahkan mungkin 5 tahun masih akan memproduksi air.
Walaupun memakan waktu cukup lama, saat ketika memproduksi air ini akan tetap terproduksi gas metana walau dalam jumlah yang sangat kecil. Juga gas ini tentusaja memiliki tekanan yang sangat rendah. Bahkan sering diperlukan kompressor untuk mempompakan gas ke penampungan.
Perbedaan CBM dengan gas konvensional.
Gas konvensional memiliki tekanan cukup tinggi sehingga produksi awalnya sangat besar dengan sedikit atau bahkan tanpa air yang ikut terproduksi. Dengan tekanan yang seringkali sangat tinggi ini menjadikan gas ini dapat ditransfer melalui pipa tanpa perlu pompa. Gas konvensional berisi metana C1H4 dan komponen-komponen gas hidrokarbon lainnya, bahkan dapat juga mengandung gas butana atau bahkan pentana yang sering kali menghasilkan kondensat.
Gas CBM seringkali berada pada lapisan batubara yang dangkal, sehingga memiliki tekanan yang sangat rendah. Pada masa produksi awal justru hampir 100% air. Dengan tekanan rendah ini maka apabila akan mengalirkan gas ini memerlukan kompressor untuk mendorong ke penampungan gas. Isinya diatas 95% hanya metana. Gas lainnya sangat sedikit. Sehingga sering disebut drygas atau gas kering.
Porositas dan Luas Permukaan
Batubara merupakan suatu material yang bersifat porous. Dengan demikian porositasnya dan luas permukaannya (Manhajan dan Walker, 1978) memiliki pengaruh yang dapat dipertimbangkan terhadap perilaku selama penambangan, preparasi, dan penanganannya.
Walaupun porositas mempengaruhi laju difusi metan keluar dari batubara (dalam lapisan batubara), dan terdapat juga beberapa pengaruh selama preparasi batubara dalam arti pemindahan mineral matter, tetapi efek yang banyak berpengaruh dari porositas batubara adalah pada penanganan batubara. Sebagai contoh, selama proses konversi batubara, reaksi-reaksi kimiawi yang terjadi antara produk-produk gas (dan atau cairan) dan permukaan yang menonjol, banyak secara inheren di dalam sistim pori.
Sistim pori batubara yang dipertimbangkan pada umumnya bersifat mikroskopis dengan ukuran sekitar 100 Angstrom dan bersifat makroskopis dengan ukuran lebih besar dari 300 Angstrom (Gan et al. 1972; Mahajan dan Walker, 1978). Peneliti lain (Kalliat et al, 1981), yang menyertakan investigasi sinar-X terhadap porositas dalam batubara, telah mengajukan beberapa keraguan terhadap hipotesis ini dengan mengemukakan suatu usul yang mana data adalah tidak konsisten dengan saran bahwa pori-pori mempunyai diameter dalam beberapa ratus Angstrom tetapi mempunyai batasan akses dalam kaitan dengan bukaan-bukaan kecil yang mana mengeluarkan zat lemas atau nitrogen (dan unsur lainnya) pada temperatur rendah. Melainkan, suatu interpretasi yang mana merupakan penekanan terhadap luas permukaan yang besar yang diperoleh oleh hasil adsorbsi sebagai hasil dalam jumlah besar dari pori-pori dengan minimum dimensi pori tidak lebih besar dari ca. 30 Angstrom.
Ada juga suatu indikasi bahwa penyerapan molekul-molekul kecil, seperti methanol, padabatubara terjadi oleh mekanisme site-specific (Ramesh et al., 1992). Dalam kasus demikian, muncul penyerapan yang terjadi pertama kali pada high-energy sites tetapi dengan meningkatnya kontinuitas penyerapan adsorbat (e.g., methanol) untuk mengikat permukaan dibanding molekul-molekul polar lainnya dari spesis yang sama, dan ini adalah suatu bukti penyerapan terjadi baik secara kimia maupun penyerapan secara fisika. Ditambahkan, pada selubung penutup permukaan kurang dari suatu bentuk monolayer, muncul sebagai lapisan aktivasi terhadap proses penyerapan. Apakah ditemukan mempunyai konsekuensi atau tidak untuk studi luas permukaan dan distribusi pori tetap dapat dilihat. Tetapi fenomena dari aktivasi penutup permukaan adalah sangat menarik, yang mana juga memilki konsekuensi untuk interpretasi efek permukaan selama proses pembakaran. Sebagai salah satu sisi efek ini, studi penyerapan dari molekul-molekul kecil pada permukaan batubara adalah di klaim terhadap struktur copolymeric batubara (Milewska-Duda, 1991).
Porositas batubara berkurang dengan meningkatnya kandungan karbon (King dan Wilkins, 1944) dan mempunyai nilai minimum sekitar 89% karbon lalu diikuti dengan meningkatnya porositas. Ukuran pori-pori juga bervariasi dengan meningkatnya kandungan karbon (rank); sebagai contoh, macrospore selalu utama dalam batubara dengan kandungan karbon yang paling rendah (rank) sedangkan batubara dengan kandungan karbon yang paling tinggi utamanya merupakan microspore. Begitupun, volume pori, yang mana dapat dihitung dari hubungan
Vp = 1/pHg -1/pHe
Dimana pHg adalah density merkuri dan pHe adalah densiti helium, berkurang dengan kenaikan kadar karbon. Sebagai tambahan, luas permukaan batubara bervariasi antara 10 – 200 m2 / g dan begitupun kecenderungan berkurang dengan bertambahnya kandungan karbon.
Porositas dan luas permukaan adalah dua propertis batubara yang sangat penting pada proses gassifikasi batubara, ketika reaktivitas batubara meningkat sama sepertiketika porositas dan luas permukaan batubara meningkat. Begitupun, laju gassifikasi adalah lebih besar untuk batubara peringkat rendah daripada batubara peringkat tinggii.Porositas batubara dihitung dengan persamaan dari hubungan.
P = 100 pHg (1/pHg -1/pHe)
Dengan menentukan apparent density batubara dalam fluida yang berbeda, tetapi diketahui, dimensi, adalah mungkin untuk menghitung ukuran dari distribusi pori Bukaan volume pori (V), misalnya, volume pori dapat diakses untuk partikular fluida, dapat dihitung dari hubungan:
v = 1/pHg - 1/pa
Dimana pa adalah apparent density dalam fluida.
Distribusi ukuran dari pori di dalam batubara dapat ditentukan dengan cara membenamkan batubara di dalam larutan merkuri dan tekanan meningkat secara progressif. Efek tegangan permukaan mencegah merkuri dari memasuki pori-pori yang memiliki diameter adalah lebih kecil dari nilai d yang diberikan untuk tiap tekanan partikular p seperti itu bahwa
p = 4o cos0/d
Dimanao adalah tegangan permukaan fluida.
Sistim pori batubara yang dipertimbangkan pada umumnya bersifat mikroskopis dengan ukuran sekitar 100 Angstrom dan bersifat makroskopis dengan ukuran lebih besar dari 300 Angstrom (Gan et al. 1972; Mahajan dan Walker, 1978). Peneliti lain (Kalliat et al, 1981), yang menyertakan investigasi sinar-X terhadap porositas dalam batubara, telah mengajukan beberapa keraguan terhadap hipotesis ini dengan mengemukakan suatu usul yang mana data adalah tidak konsisten dengan saran bahwa pori-pori mempunyai diameter dalam beberapa ratus Angstrom tetapi mempunyai batasan akses dalam kaitan dengan bukaan-bukaan kecil yang mana mengeluarkan zat lemas atau nitrogen (dan unsur lainnya) pada temperatur rendah. Melainkan, suatu interpretasi yang mana merupakan penekanan terhadap luas permukaan yang besar yang diperoleh oleh hasil adsorbsi sebagai hasil dalam jumlah besar dari pori-pori dengan minimum dimensi pori tidak lebih besar dari ca. 30 Angstrom.
Ada juga suatu indikasi bahwa penyerapan molekul-molekul kecil, seperti methanol, padabatubara terjadi oleh mekanisme site-specific (Ramesh et al., 1992). Dalam kasus demikian, muncul penyerapan yang terjadi pertama kali pada high-energy sites tetapi dengan meningkatnya kontinuitas penyerapan adsorbat (e.g., methanol) untuk mengikat permukaan dibanding molekul-molekul polar lainnya dari spesis yang sama, dan ini adalah suatu bukti penyerapan terjadi baik secara kimia maupun penyerapan secara fisika. Ditambahkan, pada selubung penutup permukaan kurang dari suatu bentuk monolayer, muncul sebagai lapisan aktivasi terhadap proses penyerapan. Apakah ditemukan mempunyai konsekuensi atau tidak untuk studi luas permukaan dan distribusi pori tetap dapat dilihat. Tetapi fenomena dari aktivasi penutup permukaan adalah sangat menarik, yang mana juga memilki konsekuensi untuk interpretasi efek permukaan selama proses pembakaran. Sebagai salah satu sisi efek ini, studi penyerapan dari molekul-molekul kecil pada permukaan batubara adalah di klaim terhadap struktur copolymeric batubara (Milewska-Duda, 1991).
Porositas batubara berkurang dengan meningkatnya kandungan karbon (King dan Wilkins, 1944) dan mempunyai nilai minimum sekitar 89% karbon lalu diikuti dengan meningkatnya porositas. Ukuran pori-pori juga bervariasi dengan meningkatnya kandungan karbon (rank); sebagai contoh, macrospore selalu utama dalam batubara dengan kandungan karbon yang paling rendah (rank) sedangkan batubara dengan kandungan karbon yang paling tinggi utamanya merupakan microspore. Begitupun, volume pori, yang mana dapat dihitung dari hubungan
Vp = 1/pHg -1/pHe
Dimana pHg adalah density merkuri dan pHe adalah densiti helium, berkurang dengan kenaikan kadar karbon. Sebagai tambahan, luas permukaan batubara bervariasi antara 10 – 200 m2 / g dan begitupun kecenderungan berkurang dengan bertambahnya kandungan karbon.
Porositas dan luas permukaan adalah dua propertis batubara yang sangat penting pada proses gassifikasi batubara, ketika reaktivitas batubara meningkat sama sepertiketika porositas dan luas permukaan batubara meningkat. Begitupun, laju gassifikasi adalah lebih besar untuk batubara peringkat rendah daripada batubara peringkat tinggii.Porositas batubara dihitung dengan persamaan dari hubungan.
P = 100 pHg (1/pHg -1/pHe)
Dengan menentukan apparent density batubara dalam fluida yang berbeda, tetapi diketahui, dimensi, adalah mungkin untuk menghitung ukuran dari distribusi pori Bukaan volume pori (V), misalnya, volume pori dapat diakses untuk partikular fluida, dapat dihitung dari hubungan:
v = 1/pHg - 1/pa
Dimana pa adalah apparent density dalam fluida.
Distribusi ukuran dari pori di dalam batubara dapat ditentukan dengan cara membenamkan batubara di dalam larutan merkuri dan tekanan meningkat secara progressif. Efek tegangan permukaan mencegah merkuri dari memasuki pori-pori yang memiliki diameter adalah lebih kecil dari nilai d yang diberikan untuk tiap tekanan partikular p seperti itu bahwa
p = 4
Dimana
Berdasarkan jumlah merkuri yang masuk batubara untuk incremental dari tekanan, adalah mungkin untuk membentuk suatu gambaran distribusi ukuran (Van krevelen, 1957). Bagimanapun, total volume pori yang dihitung dengan metode ini adalah secara substansial kurang dari yang diturunkan dari densiti helium, dengan demikian memberikan suatu konsepbahwa batubara mengandung dua sistem pori: (1) sistim pori makro yang dapat diakses terhadap merkuri pada tekanan rendah dan (2) sistem pori mikro yang mana tidak dapat di akses oleh merkuri tetapi oleh helium. Dengan menggunakan cairan yang berbeda variasi ukuran molekulnya adalah mungkin untuk menentukan distribusi ukuran pori mikro. Bagaimanapun, aturan yang berperan tepat atau fungsi pori mikro sebagai bagian dari model struktur batubara adalah tidak dapat dipahami secara penuh, walaupun telah ditunjang bahwa batubara bertindak seperti suatu saringan molekular.
Batubara merupakan batuan sedimen nonklastik yang terdiri dari lebih dari 50% berat dan 70% volume material organik yang terdiri dari karbon, hidrogen dan oksigen. Batuan sedimen nonklastik merupakan batuan sedimen yang terbentuk oleh proses kimia, biologi atau biokimia pada permukaan bumi tanpa mengalami proses erosi dan pengendapan seperti batuan sedimen klastik dan selanjutnya mengalami proses penguburan, pengompakan dan diteruskan dengan coalifikasi ditunjukkan pada Gambar 1.
Coalifikasi merupakan proses transformasi material organik menjadi bentuk material organik yang lain yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya. Dari tumpukan material organik kemudian mengalami transformasi menjadipeat, lignite, sub-bituminious, bituminious, antrachite dangraphite, yang umumnya disebut tingkatan/rank batubara.Coalifikasi juga menghasilkan produk samping berupa air dan gas. Dari proses coalifikasi ini dapat diketahui bahwa semua batubara mengandung gas seperti ditunjukkan pada Gambar 2yang menyatakan hubungan volume pembentukan gas sebagai fungsi dari rank batubara. Gambar 2 juga menunjukkan bahwarank bituminious mempunyai volume pembentukan gas yang paling tinggi. Rank peat tidak dimasukkan dalam hubungan ini karena penguburan dan terbentuknya peat masih dekat dengan permukaan, sehingga gas yang dihasilkan langsung terbebaskan.
Coal rank (tingkatan batubara) berhubungan erat dengan reservoir CBM karena terbentuknya gas-gas dibawah permukaan terjadi selama proses coalifikasi. Methane, karbondioksida dan komponen batubara lainnya merupakan hasil proses ini. Tingkatan batubara yaitu :
· Lignite, berwarna hitam kecoklatan yang merupakan perubahan material tumbuhan yang kemudian akan menjadi peat, tapi tidak seperti batubara coklat.
· Bituminous, soft coal yang mudah terbakar.
· Anthracite, hard black coal dengan lebih dari 92% karbon.
Biasanya, tingkatan batubara meningkat sebanding dengan kedalaman karena batubara sangat sensitif terhadap temperatur, tekanan dan lamanya terkubur. Namun ada faktor lain yang mempengaruhi tingkatan batubara. Sehingga pada kedalaman yang sama bisa saja memiliki tingkatan yang berbeda. Tingkatan batubara yang komersial berada diantara sub-bituminous sammpai semi-antrachite karena umumnya memberikan kandungan gas yang optimum dan permeabilitas yang cukup untuk diproduksikan.
Maceral composition merupakan komponen organik mikroskopoik batubara, analog dengan mineral pada batuan. Ada tiga jenis utama maceral yaitu :
· Jenis vitrinite, berasal dari pembusukan jaringan kayu.
· Jenis exinite, berasal dari lapisan spora dan serbuk sari, kulit ari, damar dan jaringan lemak.
· Jenis inertinite, umumnya berasal dari karbonisasi parsial berbagai macam jaringan tumbuhan di rawa-rawa.(Rightmire C., et al.,1984)
Salah satu hasil dari prosese coalifikasi adalah Coal Bed Methane merupakan gas yang dihasilkan dan tersimpan pada lapisan batubara, Lapisan batubara yang disebut reservoir CBM merupakan lapisan batubara yang berada >500 m dibawah permukaan dan diproduksikan fluida reservoirnya dengan membuat suatu sumur. Untuk lapisan batubara <500>
Maka dari itu perlu diketahiu bagaimana kondisi reservoir CBM tersebut mulai porositas, permeabilitas, dan lain-lainya
Terbentuk dan terakumulasinya minyak dan gas dibawah permukaan harus memenuhi beberapa syarat yang merupakan unsur-unsur petroleum system yaitu adanya batuan sumber (source rock), migrasi hidrokarbon sebagai fungsi jarak dan waktu, batuan reservoir, perangkap reservoir dan batuan penutup (seal). Petroleum system pada reservoir CBM sama dengan reservoir migas konvensional namun karena lapisan batubara merupakan batuan sumber sekaligus sebagai reservoir, sehingga tidak memerlukan migrasi serta perangkap reservoir. Pada Tabel 1 ditunjukan beberapa perbedaan antara reservoir CBM dan reservoir gas konvensional.
Komponen reservoir CBM terdiri atas batuan reservoir, isi dari reservoir yang terdiri atas komponen utama yaitu gas alam sedangkan air sebagai komponen ikutan, batuan penutup (seal) reservoir dan kondisi reservoir. Reservoir CBM mempunyai porositas ganda.
Porositas merupakan total bagian volume batubara yang dapat ditemapti oleh air, helium atau molekul sejenisnya (GRI,1996). Pori-pori batubara dibagi ke dalam macropores (>500Å), mesopores (20 sampai 500 Å) dan microspores (8 sampai 20 Å). Macroporosity antara lain crack, cleat, fissure dan void in fusinite dsb. Macropore biasanya diisi oleh air dan gas bebas. Struktur micropore biasanya memiliki kapasitas aliran yang sangat rendah dan permeabilitas yang kecil (dalam range microdarcy), sebaliknya cleats memiliki kapasitas alir yang besar dan permeabilitas yang tinggi (dalam range milidarcy). Oleh karena itu, batubara dianggap material dengan sistem dual-porosity.
Permeabilitas merupakan kemampuan material untuk melewatkan fluida melalui medium porinya. Permeabilitas merupakan salah satu sifat fisik yang berperan penting untuk memroduksikan gas pada economical rate. Fluida di batubara yakni air dan gas mengalir melalui cleat dan rekahan. Cleatmerupakan rekahan vertikal yang terbentuk secara alami selama proses coalifikasi. Arahnya dikontrol oleh gaya tektonik. Cleat terbentuk oleh dua atau lebih set sub-paralel fracture yang arahnya tegak lurus lapisan (GRI,1996). Facecleat berhubungan dengan fracture yang dominan. Orientasi face cleat merupakan hasil gaya tektonik. Butt cleat biasanya tegak lurus face cleat.
Pada batubara, permeabilitas sangat jelas dan tergantung gaya. Gaya horizontal yang tegak lurus dengan face cleatyang terbuka akan menyebabkan pemeabilitas rendah. Ketika kondisi tegangan kecil, rekahan (fracture) alami akan terbuka dan memberikan permeabilitas untuk mengali melalui lapisan batuan. Lipatan dan patahan dapat menambah permeabilitas batubara melalui rekahan alami.
Selain itu, mineral yang mengisi cleat dapat mempengaruhi permeabilitas batubara. Mineral seperti calcite, pyrite, gypsum, kaolinite dan illite dapat mengisi cleat dan menyebabkan berkurangnya permeabilitas. Jika sebagian besar cleat terisi maka permeabilias absolut akan menjadi sangat rendah.
Adsorption isotherm didefinisikan sebagai kemampuan batubara untuk menyerapa gas methane dalam kondisi tekakan tertentu pada suhu konstan.adsorption isotherm di rumuskan oleh langmuir yang dikenal sebagai isothrem langmuir dengan persamaan untuk menghitung kemampuan menyerapa (sorption capacity) :
Oleh karena itu, sifat utama yang perlu diketahui pada reservoir CBM merupakan prosedur yang penting untuk menjelaskan bagaimana methane tersimpan di batubara, bagaimana methane bisa terlepas dan karakteristik alirannya. Pada dasarnya terdapat dua konsep dalam memahami CBM yaitu methane storage dan methane flow.
Penyimpanan Gas pada Reservoir CBM
Methane terdapat dalam batubara karena salah satu dari tiga tahap berikut yaitu : (a) Sebagai molekul yang terserap pada permukaan organik, (b) Sebagai gas bebas dalam pori atau rekahan, dan (c) Terlarut dilarutan dalam coalbed (Rightmire, C T et al., 1984). Namun, methane dalam jumlah besar terdapat dalam batubara terserap pada lapisan monomolecular dan hanya ada sedikit gas bebas yang berada pada cleat. Proses penyerapan ini dipengaruhi oleh tekanan, temperatur dan tingkatan batubara. Peningkatan tekanan dan tingkatan batubara dan penurunan temperatur, maka kapasitas metahne dalam batubara akan meningkat. Jadi umumnya lapisan batubara yang lebih dalam memiliki jumlah metahane yang lebih besar pada rank yang sama (gambar 2). selain itu, semakin tinggi rank maka kapasitas penyimpanan akan meningkat pula.Jumlah methane yang dihasilkan dari proses perubahan dari peat menjadi anthracite lebih besar daripada kapasitas batubara untuk menyerapnya. Boyer dkk berkata “… jumlah methane (dan gas-gas yang lainnya) yang dihasilkan selama proses coalifikasiumumnya meleang bihi kapasitas penyimpanan batubara, dan kelebihan methane ini seringkali bermigrasi ke sekeliling lapisan. Contohnya, kandungan gas yan tertinggi untuk batubara anthracite di Amerika sebesar 21.6 m3/ton3, hanya sekitar 12% dari jumlah methane yang dihasilkan selama prosescoalifikasi secara teoritis”. Fakta ini dapat dijelaskan karena tekanan tekanannya saat ini telah berkurang banyak dibandingkan tekannanya saat terbentuk dan jumlah gas yang dihasilkan biasanya melebihi kapasitas penyerapan lapisan batubara.
Hubungan antara tekanan dan kapasitas batubara dapat dijelaskan menggunakan Langmuir’s Isoterm (gambar 3). Secara umum, kaspasitas batubara untuk menyerap gas berupa fungsi non-linear tekanan. Desorption isoterm menunjukkan kosentrasi gas yang terserap pada matriks abtubara berubah sebagai fungsi tekanan gas bebas di sistem cleat batubara. Oleh karena itu, ini menunjukkan hubungan antara aliran di sistem matriks dan aliran di sistem cleat. Hubungan non-linear didefinisikan dengan persamaan Langmuir.
Hasil lain dari proses coalifikasi adalah air. Air memiliki tempat yang penting dalam analisa CBM. Air dapat tersimpan dibatubara melalui dua cara, yaitu : (a) sebagai air yang terikat di matriks batubara dan (b) sebagai air bebas pada cleat. Matriks yang mengikat air tidak mobile dan menunjukkan pengaruh yang signifikan dalam recovery methane dari batubara. Namu, air bebas pada cleat merupakan salah satu parameter yang penting dalam produksi methane. Air bebas bersifat mobile pada saturasi air yang tinggi (lebih besar dari 30%). Banyak endapan batubara merupakan sistem aquifer yang aktif dan saturasi airnya 100% pada cleat
Mekanisme Perpindahan Gas Dalam Reservoir
Dalam memproduksikan gas dari reservoir CBM, aliran methane mengalami tiga taha yaitu : (a) gas mengalir dari rekahan alami (b) gas terlepas dari permukaancleat dan (c) gas terdifusi melalui matriks menujucleat (GRI,1996).Sebagian besar methane tersimpan di dalam matriks. Tetapi, tekanan dibatubara sangat rendah, fluida yang mengalir di system cleat adalah air dan dalam gas bebas jumlah yang kecil serta gas yang terlarut dalam air. Setelah proses dewatering, methane terlepas (tahap desorption) dari permukaan batubara. Desorption merupakan proses dimana molekul methane terlepas dari permukaan micropore matriks batubara dan masuk ke system cleat dimana berupa gas bebas (Setelah terlepas dari permukaan batubara, aliran methane di matriks mulai berpindah ke system cleatkarena perbedaan gradient konsentrasi gas di kedua zona tersebut (difusi). Difusi merupakan proses dimana aliran terjadi melalui pergerakan molekul secara acak dari daerah yang memiliki konsentrasi tinggi ke daerah yang konsentarsinya lebih rendah (GRI,1996).
Mekanisme Produksi Di Reservoir CBM
Produksi CBM melalui 3 tahap selama life-timenya. Kelakuannya sangat berbeda dari sumur gas konvensional. Profil produksi sumur CBM ditunjukkan pada Gambar 4. Selama tahap I, sumur CBM mengalami produksi air yang konstan dengan peningkatan produksi gas serta penurunan tekanan alir dasar sumur yang sangat rendah bahkan dapat diabaikan. Awalnya, sumur CBM dipenuhi dengan air karena terbebaskan pada saat proses coalifikasi. Air mengisi jaringan cleat yang utama. Untuk memproduksikan gas maka air yang mengisi sebagian besar cleat harus dikeluarkan. Secara teori, produksi air akan mengurangi tekanan hydarulic pada batubara karena pelepasan gas. Proses ini dikenal sebagaidewatering. Waktu proses dewatering dan jumlah air yang terproduksi sangat bervariasi. Akibatnya akan sangat sulit untuk memperkirakan pengaruhnya dalam hal keekonomiannya. Oleh karena itu, lapisan batubara harus dikontrol dengan sifat fisiknya. Sifat fisik utama yang mempengaruhi efisiensi prosesdewatering antara lain permeabilitas, kandungan gas yang diserap, kura permeabilitas relatif dan kurva tekanan kapiler, koefiesien difusi dan desorption isoterm. Diakhir tahap pertama, sumur akan memiliki tekanan alir dasar sumur yang minimum.
Tahap kedua ditandai dengan menurunnya produksi air dan meningkatnya laju produksi gas. Permeabilitas relatif air akan menurun dan permeabilitas relatif gas akan naik. Batas terluar menjadi sangat signifikan dan laju pelepasan gas akan berubah secara dinamis. Batas antara tahap II dan III ditandai dengan dicapainya puncak laju alir gas. Selama tahap III prosesdewatering tetap terjadi tapi jumlahnya sangat sedikit bahkan dapat diabaikan.